Co-Payment Asuransi Kesehatan Tak Akan Jalan Jika Publik Tak Percaya

koran-jakarta36 Dilihat

JAKARTA – Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengungkapkan pemerintah dan pelaku industri asuransi perlu memperkuat kepercayaan publik (public trust), agar implementasi aturan pembagian risiko (co-payment) berjalan efektif.

JAKARTA – Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengungkapkan pemerintah dan pelaku industri asuransi perlu memperkuat kepercayaan publik (public trust), agar implementasi aturan pembagian risiko (co-payment) berjalan efektif.

“Perlu diakui, dalam jangka pendek skema ini berpotensi menurunkan minat masyarakat, khususnya segmen yang belum terpapar edukasi finansial,” kata M Rizal Taufikurahman saat dihubungi di Jakarta, Kamis (12/6).

“Perlu diakui, dalam jangka pendek skema ini berpotensi menurunkan minat masyarakat, khususnya segmen yang belum terpapar edukasi finansial,” kata M Rizal Taufikurahman saat dihubungi di Jakarta, Kamis (12/6).

Ket. Kepercayaan Publik Kunci Efketifitas “Co-Payment” Asuransi

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru untuk produk asuransi melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026. Salah satu poin utama dalam aturan tersebut adalah penerapan skema co-payment, yaitu pembagian risiko pembiayaan layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru untuk produk asuransi melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026. Salah satu poin utama dalam aturan tersebut adalah penerapan skema co-payment, yaitu pembagian risiko pembiayaan layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah.

Melalui skema ini, pemegang polis, tertanggung, atau peserta diwajibkan menanggung sebagian biaya klaim rawat jalan maupun rawat inap.

Melalui skema ini, pemegang polis, tertanggung, atau peserta diwajibkan menanggung sebagian biaya klaim rawat jalan maupun rawat inap.

Co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, dengan batas maksimum 300.000 rupiah untuk klaim rawat jalan dan 3.000.000 rupiah untuk klaim rawat inap. Aturan itu tidak berlaku untuk skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari BPJS Kesehatan.

Co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, dengan batas maksimum 300.000 rupiah untuk klaim rawat jalan dan 3.000.000 rupiah untuk klaim rawat inap. Aturan itu tidak berlaku untuk skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari BPJS Kesehatan.

Rizal menuturkan tanpa pemahaman yang baik di masyarakat, akan muncul persepsi bahwa skema co-payment membuat polis asuransi kini tidak lagi memberikan proteksi penuh.

Rizal menuturkan tanpa pemahaman yang baik di masyarakat, akan muncul persepsi bahwa skema co-payment membuat polis asuransi kini tidak lagi memberikan proteksi penuh.

Untuk mengatasi kesalahpahaman tersebut, pemerintah dan pelaku industri harus memberikan pemahaman bahwa skema co-payment justru memperkuat keberlanjutan sistem dan mendorong penggunaan layanan yang lebih rasional.

Untuk mengatasi kesalahpahaman tersebut, pemerintah dan pelaku industri harus memberikan pemahaman bahwa skema co-payment justru memperkuat keberlanjutan sistem dan mendorong penggunaan layanan yang lebih rasional.

“Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa kontraproduktif, menciptakan sentimen negatif terhadap industri. Maka kuncinya adalah transisi komunikasi dan peningkatan public trust,” ujarnya.

“Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa kontraproduktif, menciptakan sentimen negatif terhadap industri. Maka kuncinya adalah transisi komunikasi dan peningkatan public trust,” ujarnya.

Rizal menyampaikan kebijakan co-payment merupakan bentuk koreksi struktural terhadap tingginya rasio kerugian (loss ratio) serta penggunaan yang berlebihan dan tidak perlu (overutilization) terhadap layanan kesehatan.

Rizal menyampaikan kebijakan co-payment merupakan bentuk koreksi struktural terhadap tingginya rasio kerugian (loss ratio) serta penggunaan yang berlebihan dan tidak perlu (overutilization) terhadap layanan kesehatan.

Dia mengungkapkan di tengah tren biaya medis yang terus meningkat, penerapan co-payment menjadi instrumen penyeimbang agar peserta memiliki tanggung jawab fiskal atas layanan yang dikonsumsi.

Dia mengungkapkan di tengah tren biaya medis yang terus meningkat, penerapan co-payment menjadi instrumen penyeimbang agar peserta memiliki tanggung jawab fiskal atas layanan yang dikonsumsi.

Dia menuturkan bahwa regulasi tersebut juga penting untuk menjaga solvabilitas jangka panjang perusahaan asuransi yang selama ini cenderung menanggung risiko penuh tanpa kontrol perilaku nasabah.

Dia menuturkan bahwa regulasi tersebut juga penting untuk menjaga solvabilitas jangka panjang perusahaan asuransi yang selama ini cenderung menanggung risiko penuh tanpa kontrol perilaku nasabah.

Agar penerapan skema co-payment dapat diterima oleh masyarakat, dia menyarankan para pelaku industri asuransi untuk mengubah desain produk agar lebih adaptif dan berjenjang serta meningkatkan edukasi publik secara masif.

Agar penerapan skema co-payment dapat diterima oleh masyarakat, dia menyarankan para pelaku industri asuransi untuk mengubah desain produk agar lebih adaptif dan berjenjang serta meningkatkan edukasi publik secara masif.

Jumat, 13-Jun-2025 | Fajar Alim M

Jumat, 13-Jun-2025 | Wahyu AP

Jumat, 13-Jun-2025 | Fajar Alim M

Jumat, 13-Jun-2025 | Andreas Tanjung

Jumat, 13-Jun-2025 | Andreas Tanjung

Jumat, 13-Jun-2025 | Alfred

Jumat, 13-Jun-2025 | Fajar Alim M

Jumat, 13-Jun-2025 | Fajar Alim M

Jumat, 13-Jun-2025 | Fajar Alim M

Jumat, 13-Jun-2025 | Fajar Alim M

Jumat, 13-Jun-2025 | Fajar Alim M

Jumat, 13-Jun-2025 | Alfred

PT. Berita Nusantara © Copyright 2017 – 2025 Koran Jakarta .
All rights reserved.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *