Remaja yang Rekam Momen Jatuhnya Air India Dilaporkan Alami Trauma Berat

Seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun di Ahmedabad, India, yang tanpa sengaja merekam video viral detik-detik jatuhnya pesawat Air India AI 171 pada Kamis (12/6) mengalami trauma berat.

Remaja yang diidentifikasi sebagai Aryan menceritakan pengalamannya yang membuat dia tampak tertekan dan berjuang untuk mengatasinya. Saat itu dia hanya merekam pesawat yang lewat di dekat rumahnya, tanpa menyadari akan ada kecelakaan yang terjadi setelah itu.

Videonya, yang langsung menjadi viral, memberikan salah satu perspektif langsung dari tragedi itu.

"Saya merasa sangat takut. Kakak saya adalah orang pertama yang melihat video itu. Saya merasa sangat takut karena apa yang saya lihat," cerita remaja itu kepadaNDTV.

Kakaknya juga mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi Aryan. Dia menuturkan adiknya sempat tidak bisa bicara dan tak mau makan apapun setelah dia mengambil video viral itu.

Menyaksikan kecelakaan pesawat dapat menjadi pengalaman yang sangat traumatis, yang berpotensi menimbulkan gejala gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD) atau tekanan psikologis lainnya.

Reaksi langsung mungkin termasuk syok, penyangkalan, dan disorientasi, sementara efek jangka panjang dapat mencakup ingatan yang mengganggu, perilaku menghindar, perubahan negatif dalam suasana hati dan pikiran, serta perubahan reaksi fisik dan emosional.

Vidi Aldiano Curhat Kankernya Menyebar Cepat, Bolak-balik Penang untuk Berobat

Penyanyi Vidi Aldiano curhat soal perjalanannya melawan penyakit kanker ginjal. Lewat video yang diunggahnya di Instagram, Vidi mengungkapkan kondisinya yang kembali menurun pada April 2025. Setelah diperiksa dokter, ternyata obat yang dikonsumsinya selama selama lima tahun terakhir sudah perlu diganti.

"Dan hasilnya April itu lumayan bikin aku tidak bisa berfungsi beberapa waktu, karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan kali ya. Tidak sesuai dengan ekspektasi aku gitu," curhatnya dalam postingan yang dilihatdetikcom, Kamis (12/6/2025).

Setelah menjalani pemeriksaan oleh dokter, ternyata kanker di tubuhnya tumbuh dengan cepat. Akibat kondisinya itu, Vidi segera mengganti obat yang dikonsumsinya selama lima tahun terakhir ini dengan obat lain.

Ternyata, obat itu diganti dengan obat yang sudah pernah dikonsumsinya saat awal diagnosis kanker di Singapura. Dokter menganjurkan Vidi menggunakan obat itu lagi.

Mengingat obat itu belum masuk ke Indonesia, Vidi pun harus bolak balik Penang, Malaysia, untuk melakukan pengobatan.

"Karena memang saat ini obatnya, unfortunately, belum sampai di Indonesia. Jadi kita harus melakukan treatment-nya semua di Penang,"

"Jadi, sudah beberapa bulan terakhir aku harus pulang pergi Penang untuk berobat,"

Selama pengobatan, Vidi mengonsumsi obat baru tersebut. Tetapi, efek samping yang dirasakannya dari obat baru ini lebih keras dibandingkan yang pernah dialaminya lima tahun lalu.

Kini, Vidi berusaha untuk menahan rasa sakit dan efek samping yang muncul dari pengobatan barunya ini. Semuanya dilakukan demi kesehatannya.

"Efek samping obat ini lebih keras jauh dibandingkan apa yang aku sudah alami 5 tahun terakhir. Jadi aku lagi dalam proses untuk enduring pain everyday, enduring every side effect yang baru muncul beberapa bulan ini," terang Vidi

"Tapi aku berusaha untuk terus bisa maju setiap harinya dengan tersenyum gitu. Intinya dengan kondisi aku sekarang, aku akan terus fokus untuk bisa menyehatkan badanku dan pikiranku juga," pungkasnya.

Kisah Amou Haji, ‘Pria Terkotor di Dunia’ yang Meninggal Dunia setelah Mandi

Jakarta- Seorang pria Iran dijuluki 'pria terkotor di dunia' karena tak mandi sama sekali selama 60 tahun. Secara mengejutkan, dia meninggal tak lama setelah mandi.

Seorang pria Iran yang dikenal dengan Amou Haji dijuluki 'pria terkotor di dunia' karena tak mandi sama sekali selama 60 tahun. (Foto: AFP/Getty Images)

Berpuluh-puluh tahun Haji ogah mandi gegara takut air dan sabun akan membuatnya sakit. Namun begitu, Haji tidak sakit dan tak pernah ditemukan ada parasit dalam tubuhnya. (Foto: AFP/Getty Images)

Profesor parasitologi dari Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Teheran, Dr Gholamreza Molavi sempat memeriksa parasit, berbagai bentuk hepatitis, AIDS, dan infeksi lainnya pada Haji. Menurutnya, kesehatan Haji ditopang oleh pengembangan sistem kekebalan yang kuat. (Foto: AFP/Getty Images)

Saat menjalani pemeriksaan kesehatan, Haji saat itu berusia 87 tahun. Ia diketahui sering mengkonsumsi makanan mentah seperti landak dan kelinci, meminum air yang tidak diolah dari genangan dan merokok kotoran hewan kering jika dia tidak punya tembakau. (Foto: AFP/Getty Images)

Dia tinggal di lubang yang dia gali sendiri, atau kadang-kadang di rumah blok beton yang dibangun untuknya oleh penduduk setempat. (Foto: AFP/Getty Images)

Haji, yang meninggal di kota kecil Dejgah, dipaksa mandi oleh warga beberapa bulan sebelum ia meninggal. Tetangganya khawatir karena ia terlihat kesepian dan tidak bisa mendapatkan teman karena kebiasaannya itu. (Foto: AFP/Getty Images)

Dia jatuh sakit tak lama setelah itu, hingga kondisinya memburuk kemudian menyebabkan dia meninggal. (Foto: AFP/Getty Images)

Cerita Dua Pasien Kanker Vagina, Sama-sama Alami Perdarahan usai Berhubungan Intim

Kanker vagina merupakan kanker langka yang terjadi di vagina, saluran otot yang menghubungkan rahim dengan bagian luar tubuh. Kondisi ini terjadi saat sel-sel abnormal di vagina tumbuh dan membelah tak terkendali.

Dikutip dariMayo Clinic, kanker vagina mungkin tidak menimbulkan gejala apapun di fase awal. Seiring pertumbuhannya, kanker vagina dapat menimbulkan gejala, seperti:

Beberapa wanita pun mengungkapkan soal gejala kanker vagina yang mereka rasakan. Dikutip dari berbagai sumber, berikut pengalaman mereka:

Seorang wanita di Australia menceritakan pengalamannya mengalami kanker vagina. Jane (46) terkejut saat mengalami perdarahan setelah berhubungan seks dengan suaminya.

"Dokter umum meminta saya untuk melakukan USG dan merujuk ke dokter kandungan. Tetapi, saya harus menunggu selama 2 bulan untuk mendapatkan janji temu itu," kata Jane yang dikutip dariCancer Council.

Ketika menunggu itu, Jane merasa stres, terutama saat ia mengalami perdarahan usai berhubungan seks dan merasakan nyeri di vagina.

Setelah mendapat waktu konsultasi dengan dokter kandungan, Jane mengungkapkan gejala-gejala yang dirasakannya. Dokter pun merujuk Jane ke dokter kandungan onkologi.

"Dokter kandungan onkologi mengonfirmasi bahwa saya memiliki massa di dinding vagina. Ia melakukan biopsi dan meminta saya untuk menjalani pemindaian MRI dan PET. Saya sangat terpukul, tetapi berusaha menyembunyikannya dari anak-anak," kata Jane.

"Dokter kandungan onkologi menelepon saya untuk menyampaikan hasilnya, itu adalah SCC yang tumbuh cepat dan belum menyebar ke luar vagina. Perawatan yang direkomendasikan adalah kemoradiasi selama 5-6 minggu yang diikuti oleh brakiterapi interstisial," lanjutnya.

Untuk mengatasi masalahnya, Jane menjalani berbagai macam pengobatan untuk menyembuhkan kanker vagina yang diidapnya, salah satunya dengan kemoterapi.

Seorang wanita di Amerika Serikat didiagnosis mengidap kanker vagina saat berusia 38 tahun. Sebelum didiagnosis, wanita bernama Sarah itu awalnya hanya melihat bercak darah di organ intimnya setelah berhubungan seksual.

"Saya mulai melihat adanya bercak setelah berhubungan intim. Itu tidak normal bagi saya, dan karena histerektomi sebelumnya, saya tidak lagi mengalami menstruasi," tuturnya yang dikutip dari laman CDC.

Awalnya, bercak darah yang muncul hanya sedikit. Tetapi, hal itu bertambah buruk hingga perdarahan sepanjang hari dan membutuhkan pembalut.

"Selain perdarahan yang tidak biasa, saya tidak mengalami gejala lain, tidak merasakan perih, dan saya merasa sehat-sehat saja," terang Sarah.

"Namun, perdarahannya semakin parah dan sangat tidak biasa sehingga membuat saya takut," sambungnya.

Mengetahui ada yang tidak beres, Sarah memutuskan untuk pergi ke dokter umum. Dokter memintanya untuk melakukan Pap Test dan tes Human Papillomavirus (HPV).

Sarah pun membuat janji dengan dokter spesialis onkologi ginekologi untuk melakukan kolposkopi dan pemeriksaan. Tetapi, ia perlu menunggu beberapa minggu.

Dari hasil pemeriksaan, Sarah memiliki benjolan sebesar telur di vagina yang menjadi penyebab perdarahan.

"Mereka (tim dokter) menjadwalkan saya untuk menjalani biopsi, sehingga mereka dapat mengumpulkan dan menguji sel-sel tersebut," ungkapnya.

Hasil tes menunjukkan benjolan di vaginanya itu adalah kanker yang teralokasi, sehingga tidak berdampak pada organ panggul lainnya. Sarah menjalani berbagai pengobatan dan perawatan intensif untuk mengecilkan serta membunuh sel-sel kanker itu agar tidak tumbuh lebih lanjut.

Perjalanan Kanker Ginjal Vidi Aldiano, Sempat Berencana Setop Kemoterapi

Vidi Aldiano baru-baru ini mengungkapkan kondisinya yang tengah berjuang melawan kanker ginjal yang diidapnya sejak 2019. Sebelumnya, ia telah menjalani operasi pengangkatan satu ginjalnya di Singapura.

Pada September 2023, Vidi mengabarkan kanker yang diidapnya bermetastasis atau menyebar ke bagian tubuh lainnya. Ia pun rutin menjadi 'spa day' atau pengobatan kanker ginjal yang diidapnya.

"Hasil PET scan-nya itu belum sesuai dengan harapan saya. It's not bad but it's not good also yet, masih hopeful untuk terus berjuang melawan penyakit aku ini. It was not easy, still not easy juga sampai hari ini melihat hasil yang masih belum sesuai ekspektasi itu terkadang bikin kita down dan bisa stres juga," kata Vidi dalam video yang diunggahnya di akun Instagram, Jumat (22/11/2024).

Positron Emission tomography scan (PET scan) merupakan jenis tes yang dapat digunakan dalam penanganan kanker. Dikutip dari laman Cancer.net, prosedur dapat dilakukan bersamaan dengan CT scan, yang dokter biasanya menyebut dengan PET-CT scan.

Vidi juga rutin menjalani kemoterapi untuk mengobati kanker ginjal yang diidapnya. Kondisinya semakin membaik, tetapi beberapa hari ia mengalami efek samping dan gejala usai perawatan.

"Badan gua kaya menggigil semalaman dan mulai ngilu sebadan lagi dan kalau kegesek sakit," beber Vidi.

Efek samping kemoterapi yang dirasakan Vidi masih terasa hingga keesokan harinya saat bangun tidur. Ia mengaku mengeluhkan takikardia, saat heart-ratenya relatif tinggi.

"Takikardi itu di mana gua tiba-tiba heart rate-nya tinggi di atas 110 di saat gua lagi duduk gitu," lanjut Vidi.

Pasca menjalani kemoterapi, Vidi memilih melanjutkan perawatan ke Thailand. Ia menghabiskan waktu sekitar dua minggu di Koh Samui.

"Gue hari ini ada di Koh Samui untuk memulai treatment. Nggak treatment sebenarnya, lebih ke retreat di tempat namanya Tanya Samui," beber Vidi, dalam unggahan video di akun Instagramnya, @vidialdiano.

Meski sempat cemas melakukan perawatan ini, Vidi merasa bersyukur mendapatkan aura positif dari banyak orang. Diketahui, retreat di Tanya Samui merupakan perawatan holistik untuk meningkatkan kesejahteraan pengunjung secara keseluruhan melalui berbagai aktivitas dan perawatan.

Dikutip dari laman resminya, Tanya Samui berfokus pada pembersihan kandung empedu, hati, usus bagian bawah, dan usus besar. Herbal dan suplemen yang diberikan konon 100 persen alami dan diklaim membantu membersihkan tubuh.

Selama detox tubuh, Vidi melakukannya dengan tidak mengonsumsi apapun makanan solid. Meski begitu, ia tidak merasa lemas atau lapar, dan bisa melewati proses retreat dengan baik.

NEXT: Berencana setop kemoterapi-ganti obat

Selama lima tahun berjuang melawan kanker ginjal, Vidi berusaha mengelola emosi untuk mencegah stres. Ia juga berencana untuk berhenti menjalani kemoterapi karena efek sampingnya.

"2025 ini ada kemungkinan gue sudah harus stop kemoterapi gue, karena its been too long dan kalaupun gue lanjutkan mungkin akan ada side effects yang lebih parah di badan gue," cerita Vidi seperti dilihat di akun TikTok pribadinya, Kamis (13/2/2025).

"Itu juga salah satu yang bikin kepikiran juga. Terlalu banyak what if, what if, yang muncul di kepala gue, belum lagi beberapa stres yang muncul dari beberapa variabel luar, sementara dokter bilang disease ini sangat amat rentan dengan apa yang namanya stres," sambungnya.

Lewat unggahan video di Instagram pribadinya pada Kamis (12/6), Vidi mengaku kondisinya kembali menurun selepas Idul Fitri pada April 2025. Sebelumnya, pada Desember 2024 kondisinya sudah mulai membaik.

Namun, ternyata obat yang dikonsumsinya selama lima tahun terakhir sudah perlu diganti.

"Namun, April kemarin setelah Lebaran kita melakukan another scan untuk mengecek apakah obatnya yang sudah aku pakai 5 tahun itu masih berfungsi atau nggak," beber Vidi dalam postingan Instagram yang dilihatdetikcom, Kamis (12/6/2025).

"Dan hasilnya April itu lumayan bikin aku tidak bisa berfungsi beberapa waktu, karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan kali ya, tidak sesuai dengan ekspetasi aku gitu," sambungnya.

Dokter mengungkapkan kanker di tubuhnya tumbuh dengan cepat. Selama beberapa bulan terakhir, ia juga bolak-balik Penang, Malaysia untuk bisa mendapatkan obat baru.

Ternyata, obat baru itu adalah obat yang digunakannya saat awal diagnosis kanker. Tetapi, obat itu belum tersedia di Indonesia.

Selain itu, Vidi juga mengeluhkan efek samping obat yang lebih keras dari obat barunya. Ia berusaha mengatasi rasa sakit dan efek sampingnya yang baru muncul beberapa bulan ini.

"Tapi aku berusaha untuk terus bisa maju setiap harinya dengan tersenyum gitu. Intinya dengan kondisi aku sekarang, aku akan terus fokus untuk bisa menyehatkan badanku dan pikiranku juga," pungkasnya.

Perbedaan COVID-19 Varian ‘Nimbus’, Turunan Omicron yang Cepat Menyebar

Lonjakan kasus COVID-19 di beberapa negara Asia tengah menjadi sorotan belakangan ini. Pakar imunologi fakultas kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo, MSi, SpMK mengimbau untuk tetap meningkatkan kewaspadaan, meski tren lonjakan kasus yang muncul tidak separah saat pandemi.

Menurut dr Agung, adanya sedikit kenaikan kasus COVID-19 pasca pandemi adalah hal yang wajar. Hal yang harus diingat adalah virus ini belum benar-benar hilang. COVID-19 hanya mengalami mutasi dan menular lebih cepat, meski gejalanya masih ringan.

Lebih lanjut dr Agung menerangkan, kenaikan kasus COVID-19 di dunia saat ini dipicu oleh 3 faktor yakni munculnya varian baru, penurunan kekebalan populasi, serta perubahan perilaku masyarakat pasca pandemi.

"Varian baru ini merupakan hasil mutasi Omicron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1. Varian NB.1.8.1 ini dikenal dengan nama Nimbus. Nimbus memiliki perbedaan struktur spike yang sangat signifikan dari varian Omicron sebelumnya," ujar dr Agung dikutip dari laman resmi Unair, Selasa (10/6/2025).

Ia menuturkan, mutasi seperti Omicron dan Nimbus mampu menghindari sistem kekebalan yang terbentuk tubuh, termasuk dari vaksin generasi awal. Hal ini yang membuat varian baru meningkatkan risiko penyebaran.

Perubahan cuaca juga dinilai berkontribusi menurunkan daya tubuh. dr Agung menuturkan perubahan musim yang seharusnya panas berubah menjadi dingin dan hujan, merupakan kondisi yang ideal untuk penyebaran COVID-19.

Situasi ini disebut mirip ketika virus SARS-CoV-2 ini pertama kali menyebar secara global.

Minumnya pemeriksaan dan pelacakan membuat infeksi COVID-19 tidak terdeteksi. Banyak orang mungkin yang mengalami batuk atau pilek tidak mengetahui apakah terinfeksi COVID-19.

"Perubahan musim ini memicu penurunan kekebalan tubuh masyarakat. Sementara itu, banyak orang merasa COVID-19 sudah tidak ada sehingga mereka mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, tidak adanya pemeriksaan bukan berarti virus benar-benar hilang," terangnya.

Varian Nimbus pertama kali terdeteksi pada akhir Januari 2025 di wilayah Asia. Hingga 23 Mei 2025, WHO mencatat COVID-19 varian Nimbus sudah terdeteksi di sekitar 22 negara.

Salah satunya seperti di Amerika Serikat, khususnya di negara bagian New York, California, Arizona, Ohio, Rhode Island, Washington, Virginia, dan Hawaii. Beberapa negara lain seperti Singapura, Thailand, Australia, Kanada, Hong Kong, dan Korea Selatan juga mendeteksi varian serupa.

Beberapa pasien yang terpapar varian Nimbus mengalami gejala seperti demam, menggigil, batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, kelelahan, sulit bernapas, dan diare.

Ramai soal Kelainan Kulit Vitiligo, Bisa Sembuh Nggak Ya?

Viral pemakaian cat rambut bisa berakhir vitiligo. Vitiligo sebetulnya merupakan jenis kulit yang menandakan adanya kehilangan pigmen sehingga muncul bercak putih pada area tersebut.

"Aku kena vitiligo pas 2021 akhir, karena kena bleach rambut jadi pigmen kulitnya hilang, tadinya kecil, tetapi nyebar sampai alis dan rambut," demikian narasi viral di pemilik akun TikTok yang mengidap vitiligo.

Tidak sedikit yang kemudian menanyakan apakah kondisi kulit semacam ini bisa benar-benar sembuh. Mengacu publikasi ilmiah di Indonesia, prevalensi vitiligo berkisar antara 0,2-2 persen, sejalan dengan angka prevalensi global. Vitiligo sering muncul pada usia muda, dengan rata-rata awal kemunculan sekitar 7,3 tahun.

"Vitiligo merupakan tantangan besar bagi kami para dokter dermatologi," ujar dr Maureen Situmeang, SpDVE, dokter spesialis dermatovenereology di C Derma Jakarta, Senin (9/6/2025).

Menurutnya, dampak vitiligo bukan hanya terlihat pada kulit, tetapi juga memengaruhi kualitas hidup dan kepercayaan diri pasien. Diperlukan perawatan yang presisi bergantung pada area bercak kulit secara rutin dan konsisten.

Meski tidak bisa sepenuhnya disembuhkan, perawatan semacam ini bisa mengembalikan warna kulit menjadi lebih merata.

Ada beberapa langkah yang umumnya dilakukan sebagai perawatan kelainan kulit dengan vitiligo termasuk beberapa di antaranya krim kortikosteroid, terapi cahaya, penggunaan sinar ultraviolet (UVB), dan obat-obatan lain.

Konsultasi tetap disarankan sebelum melakukan sejumlah perawatan.

Gejala vitiligo adalah munculnya bercak hipopigmentasi di tubuh. Pada awalnya, bercak yang muncul berwarna lebih muda dari kulit, kemudian perlahan-lahan memutih.

Kemunculan bercak vitiligo dimulai dari bagian tubuh yang sering terpapar sinar matahari, seperti wajah, bibir, tangan dan kaki, lalu menyebar ke bagian tubuh lain.

Bercak vitiligo umumnya muncul secara simetris di kedua sisi tubuh, tetapi bisa juga di salah satu sisi tubuh. Kapan dan seberapa cepat bercak vitiligo menyebar tidak dapat ditentukan. Di samping itu, warna kulit yang terkena vitiligo terkadang bisa kembali normal.

Viral Sopir Todong Pistol, Kenapa Ada yang Gampang Emosi karena Hal Sepele?

Belum lama ini viral sebuah video driver ekspedisi diduga menodongkan pistol di Tol Cipularang pada pengendara lain. Diduga pelaku emosi tak terima kendaraannya disalip saat di perjalanan.

Kejadiannya terjadi di Tol Cipularang arah Bandung KM 93, kabupaten Purwakarta, Sabtu (7/6/2025) sekitar pukul 16.49 WIB. Korban bernama Muhammad Diaz Alfikar sudah melaporkan kejadian tersebut ke Polres Purwakarta.

"Ketika menghampiri pelaku, pelapor menanyakan kenapa mepet-mepet jalan terus, si pelaku menjawab namanya juga di jalan situ kencang saya juga kencang, si pelaku menanyakan maunya gimana sambil merogoh sesuatu di belakang jok mobilnya dan mengeluarkan sesuatu benda yang diduga senjata api yang di bungkus berwarna ungu kemudian mengokang dan menodongkannya ke arah pelapor, karena takut pelapor lari dan masuk ke dalam mobil dan memundurkan kendaraannya menjauhi pelaku," kata Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochmawan dikutip dari detikJabar, Selasa (10/6/2025).

Berkaitan dengan hal tersebut, psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menerangkan ada beberapa faktor umum yang memicu seseorang mudah marah dalam perkara yang sepele. Pertama, misalnya orang tersebut memang sudah memiliki stressor yang menumpuk, sebelum adanya pemicu amarah.

Meski pemicunya mungkin masalah sepele, hal ini bisa meledakkan atau meluapkan emosi orang yang sudah memiliki stressor yang menumpuk sebelumnya.

Faktor lain yang dapat memicu manajemen amarah yang buruk adalah tidak dimilikinya pola kepribadian atau pemahaman dalam mengekspresikan amarah dengan cara yang sehat.

"Juga bisa dikarenakan memang punya pola kepribadian yang tidak punya pemahaman atau tidak punya kebiasaan yang sehat dalam mengekspresikan emosi marah. Jadi dari kecil memang terbiasa dengan cara demikian, untuk memproses atau meregulasi marahnya dengan cara yang salah," kata Sari ketika dihubungi detikcom, Selasa (10/6/2025).

Faktor ego diri juga mungkin berperan. Tak jarang amarah yang dipicu masalah sepele juga disebabkan oleh ego yang terlalu besar.

Ketika ada sesuatu yang menyinggung ego atau harga dirinya, seseorang mungkin akan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang menyerang balik. Ini juga berkaitan dengan pemahaman terkait pengekspresian emosi yang salah.

Faktor biologis otak, menurut Sari juga dapat berperan. Seseorang yang memiliki disfungsi otak tertentu mungkin memiliki kecenderungan sulit dalam mengelola emosi amarah.

"Faktor biologis ini biasanya berkaitan dengan fungsi otak Jadi memang dia punya dorongan marah yang besar. Namun, kurang punya kemampuan otak dalam mengendalikan kognitifnya atau kontrol emosinya itu memang loss," tandasnya.

Foto Bocah Kena ‘Sindrom Manusia Batu’, Bikin Ototnya Berubah Jadi Tulang

Jakarta- Seorang bocah 10 tahun di Pakistan mengidap kondisi langka 'sindrom manusia batu'. Kondisi tersebut membuat otot-ototnya berubah menjadi tulang.

Dalam sebuah studi kasus yang diterbitkan dalam Journal of Medical Case Reports tahun 2019, seorang bocah 10 tahun dilarikan ke rumah sakit akibat benjolan-benjolan menyakitkan di tubuhnya. (Foto: Journal of Medical Case Reports)

Setelah dilakukan pemeriksaan, bocah tersebut menunjukkan gejala klinis dan radiologis dari kondisi fibrodysplasia ossificans progressiva (FOP) atau 'sindrom manusia batu'. (Foto: Journal of Medical Case Reports)

Orang dengan kondisi ini memiliki kelainan yang membuat otot, ligamen, dan jaringan lunak lainnya perlahan berubah menjadi tulang. Akibatnya tubuh terasa kaku seperti 'manusia batu'. (Foto: Journal of Medical Case Reports)

Benjolan-benjolan yang terasa nyeri muncul di punggung akibat massa keras dan kekakuan pada bahu, leher, serta pinggul kiri. Kondisi ini membuatnya juga sulit berjalan atau jongkok secara normal. (Foto: Journal of Medical Case Reports)

Pasien tidak sembuh total, tapi menjalani perawatan konservatif untuk membantu mengurangi perburukan gejala. Pasien sempat menjalani operasi pengangkatan tulang yang tumbuh secara tak normal di pinggul kiri, tapi justru terjadi pertumbuhan tulang yang lebih parah. (Foto: Journal of Medical Case Reports)

Monita Tahalea Punya Riwayat GERD, Gejala Nggak Gampang Kambuh Berkat Matcha

Solusi penyanyi Monita Tahalea mengatasi masalah Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), kondisi saat asam lambung naik ke kerongkongan dan memicu gejala tak nyaman, adalah matcha. Reaksi seperti mual, sensasi panas di sekitar dada, hingga rasa nyeri nyaris tidak pernah kambuh saat mengganti sumber kafein dari semula di kopi, menjadi matcha.

Kebiasaan mengonsumsi matcha diakui Monita sudah dijalani lebih dari tiga tahun terakhir. "Dulu aku peminum kopi, dulu sekali, jaman aku kuliah, tapi terus aku memang punya riwayat asam lambung, jadi merasa harus mencari minuman yang lebih lighter," terang Monita saat ditemui detikcom pasca sesi bincang detikSore, Selasa (10/9/2025).

Matcha disebutnya meredakan gejala asam lambung dan menghangatkan tubuh. Monita juga mengaku matcha seperti merangsang 'dopamin' atau hormon bahagia yang otomatis berpengaruh pada masalah GERD. Mengingat, GERD juga bisa dipicu dari stres.

Meski begitu, mengonsumsi makanan dan minuman apapun menurutnya tetap perlu dibatasi. Ada baiknya selalu mengenali kondisi tubuh juga menyesuaikan porsi matcha yang dikonsumsi.

"Jadi aku pernah minum matcha jam 9 malam, tetapi porsinya kebanyakan, dan kalau dibuatin orang kan bisa saja gula-nya terlalu banyak, jadi ada reaksi," cerita dia.

"Intinya biasanya aku selalu minum itu satu gelas kecil dan kan bisa dibuat hangat, jadi enak ke tubuh," sambungnya.

Selain matcha, wanita yang akan merilis album baru setelah mengeluarkan single 'Kawan', juga hobi mengonsumsi teh lain, bahkan mengoleksinya di rumah.

"Kenapa aku nggak pilih kopi, karena kalau jenis kopi kan ada beragam macam. Americano yang katanya bagus, arabica, dan lain-lain, aku tidak terlalu memahami, jadi aku cari yang lebih mudah aja, lebih light dari kopi," pungkasnya.