Insiden tragis menimpa maskapai Air India yang jatuh tak lama setelah lepas landas dari Bandara Internasional Ahmedabad, Kamis (12/6/2025). Kecelakaan ini menewaskan hampir seluruh penumpang dan awak kabin. Hanya satu orang yang selamat, yakni Viswashkumar Ramesh.
"Baru 30 detik setelah pesawat mengudara, terdengar ledakan keras, lalu pesawat langsung terjatuh," ujar Ramesh dari ranjang rumah sakit tempat ia dirawat.
Dikutip dariCNN, kecelakaan udara semacam ini berdampak pada psikologis banyak orang. Salah satunya adalah meningkatnya ketakutan untuk naik pesawat atau yang dikenal dengan aerophobia.
Menurut Dr Gail Saltz, psikiater dan profesor klinis di Weill Cornell Medical College, rasa takut bisa muncul atau memburuk setelah mendengar peristiwa tragis tersebut.
"Setiap orang mungkin pernah berpikir, 'Semoga pesawatku aman', saat ada jadwal delay atau keterlambatan. Tapi bagi sebagian orang, pikiran itu bisa menjadi melekat dan berubah menjadi kecemasan berlebihan," ujar Saltz, dikutip dari CNN.
Perbedaan Cemas dan Fobia Terbang
Saltz menerangkan, kecemasan terhadap penerbangan berbeda dengan aerophobia. Jika hanya cemas, seseorang masih bisa melanjutkan penerbangan. Namun pada aerophobia, muncul gejala fisik seperti jantung berdebar, berkeringat, mual, hingga muntah. Gejala ini bahkan bisa muncul sejak seminggu sebelum terbang.
Secara emosional, mereka merasa panik, cemas berlebihan, dan secara perilaku bisa membatalkan penerbangan mendadak atau memilih moda transportasi lain demi menghindari pesawat.
"Kalau gejala ini sudah berlangsung enam bulan atau lebih dan mengganggu kehidupan sehari-hari, itu bisa dikategorikan sebagai fobia," jelasnya.
Fobia terbang tidak hanya disebabkan oleh ketakutan pesawat jatuh. Banyak orang justru takut karena berada di ruang tertutup di udara, takut mabuk perjalanan, turbulensi, atau terkena penyakit menular.
"Trauma masa lalu seperti kecelakaan atau bencana alam juga bisa memicu. Anak-anak yang orang tuanya takut terbang juga berisiko mengalami hal yang sama," tambah Saltz.
Saltz menegaskan, menghindari penerbangan bukanlah solusi. Justru, rasa lega setelah membatalkan penerbangan bisa memperkuat fobia.
"Ketika menghindar, dunia makin sempit dan rasa takut makin besar. Menghindar justru memperburuk," katanya. Ia juga menyarankan untuk tidak sembarangan mengonsumsi alkohol atau obat tidur tanpa resep karena bisa berbahaya dan tidak membantu pemulihan secara psikologis.
Kabar baiknya, fobia terbang adalah kondisi yang bisa diobati. Terapi yang direkomendasikan adalah exposure and response prevention, menghadapi ketakutan secara bertahap dengan bantuan terapis.
"Seiring waktu, seseorang bisa menjadi lebih kebal terhadap pemicunya. Bahkan ada terapi dengan realitas virtual yang terbukti efektif," jelasnya.
Menurut Cleveland Clinic, aerophobia termasuk salah satu fobia paling umum di AS, memengaruhi lebih dari 25 juta orang dewasa. Rentang usia paling terdampak adalah 17-34 tahun, yaitu masa ketika banyak perubahan hidup besar terjadi, seperti kuliah, menikah, atau punya anak.
"Wajar bila orang merasa hidupnya terlalu berharga untuk dipertaruhkan di udara," tutup Saltz.