Scroll ke bawah untuk membaca berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
12 Juni 2025 | 13.07 WIB
Dengarkan artikel
Bagikan
Gabung Tempo Circle
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Akademisi dan pengamat turut menanggapi keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan empat pulau di wilayah Aceh Singkil, Aceh, masuk ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut). Keputusan itu dinilai menimbulkan ketidakadilan bagi Aceh dan dicurigai adanya agenda politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan itu termaktub dalam Keputusan Mendagri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan 25 April 2025. Empat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK), Ahmad Humam Hamid, menilai keputusan pemerintah pusat dilakukan secara sepihak. Ia mengatakan, tanpa proses dialog terbuka, keputusan pemerintah justru menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi masyarakat Aceh. “Di mata masyarakat Aceh, ini bukan sekadar pengalihan wilayah, melainkan pengabaian atas martabat dan komitmen politik pascadamai,” kata dia di Banda Aceh, Rabu, 11 Juni 2025.
Menurut Human, kasus pengalihan empat pulau ini secara administratif tampak sederhana. Pulau-pulau itu, kata dia, bagi masyarakat Aceh bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar. “Bagi masyarakat Aceh, keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi sejarah, politik, dan identitas yang kompleks,” ujarnya.
Dalam pengamatan Human, fenomena seperti ini tidak unik hanya terjadi di Aceh. Human bahkan mengaitkan keinginan memisahkan diri sejumlah regional karena sikap pemerintah pusat yang cenderung mengabaikan aspirasi kultural. Contohnya, di Catalonia, yang menuntut pemisahan dari Spanyol karena alasan kultural tersebut, yang mana kasusnya mirip dengan di Aceh.
“Di Catalonia, misalnya, tuntutan pemisahan dari Spanyol tidak semata karena alasan ekonomi, tetapi karena sejarah marginalisasi dan aspirasi kultural yang diabaikan oleh pusat,” kata dia
Human menjelaskan, masyarakat Catalonia merasa bahwa otonomi yang dijanjikan terus dibatasi dan keputusan strategis diambil tanpa menghormati aspirasi lokal. Situasi ini memperkuat identitas kolektif dan mendorong resistensi yang kini berlangsung dalam bentuk politik.
Hal serupa juga terjadi di Skotlandia. Meskipun prosesnya berlangsung dalam kerangka demokratis, dorongan untuk merdeka lahir dari rasa bahwa keputusan penting tentang masa depan Skotlandia terlalu lama ditentukan oleh London, Inggris.
Mindanao di Filipina Selatan bahkan mengalami konflik berdarah selama puluhan tahun karena negara gagal memahami struktur sosial dan religius masyarakat muslim di sana. Pendekatan militer dan administratif justru memperpanjang kekerasan.
“Aceh memiliki banyak kesamaan dengan ketiga kawasan itu: identitas historis yang kuat, pengalaman relasi timpang dengan pusat, dan kesadaran kolektif untuk mempertahankan harga diri wilayah,” kata Humam.
Dalam konteks ini, Human berpendapat, pendekatan legalistik terhadap pengalihan wilayah hanya akan memperdalam kecurigaan. Bila tidak ditangani secara sensitif, keputusan administratif bisa menjadi percikan bagi munculnya kembali narasi resistensi yang lebih luas.
Dalam konteks reproduksi resistensi antargenerasi, menurut dia, pelajaran terpenting bagi pemerintah pusat dari kasus pengalihan empat pulau ini adalah urgensi mengedepankan pendekatan empati, dibanding semata-mata jalur legal-formal
“Di wilayah seperti Aceh, yang menyimpan sejarah panjang konflik dan perjuangan otonomi, keputusan administratif—betapapun sah secara hukum—dapat memicu luka lama jika tidak disertai dengan pemahaman akan makna simbolik dan emosi kolektif yang melekat pada wilayah tersebut,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, kudu melakukan pendekatan empati yang hadir untuk mendengar, bukan sekadar menjawab; memahami konteks sosial dan psikologis masyarakat, bukan hanya membaca peta dan regulasi. Pendekatan empati menuntut negara untuk tidak hanya hadir sebagai pemegang kewenangan, tetapi juga sebagai mitra yang menghargai memori, identitas, dan martabat lokal.
“Dengan cara ini, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan risiko munculnya ketegangan lintas generasi dapat diredam sebelum berkembang menjadi bentuk resistensi baru,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menilai keputusan Kemendagri menetapkan empat pulau di Aceh Singkil menjadi bagia